Dua sungai tercipta dari mataku
yang menatap nanar. Panas.
Butir-butir keringat terasa
dingin, padahal matahari bersinar terang, terik, tertawa puas tanpa halangan
awan.
Tangan tak kasatmata seperti
mencengkeram jantungku, memelintirnya tanpa belas kasihan, aku megap-megap
mencari udara.
Aku lemah…
Tidak, aku tidak lemah…
Tapi aku memang lemah…
Hatiku bertengkar. Aku tak
repot-repot menengahi. Aku telah terpuruk.
Mimpiku, mimpiku yang besar itu, harus ku
kemanakan? Tak sudi aku berhenti, tak mau aku menyerah, tak sanggup aku
berhenti. Tapi nyatanya, aku terlalu kecil, aku terlalu lemah untuk mimpi itu.
Aku menangis terisak. Tersedu.
“Jangan menangis, kak… please…”
adikku memelukku. “Kakak pasti bisa…”
Bisa…?
Aku tak bisa.
Tuhan telah menggoreskan, menakdirkan,
menentukan, memilihkan, sebatas inilah aku mampu. Tak lebih.
Kalian tak mengerti, bahwa tak
selamanya bisa itu bisa…
Kami berpelukan dalam isakan, air
mata menetes membasahi seragam merah kebanggaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar